Seiring berlakunya UU PDRD yang baru, maka PBB khusus sektor perdesaan dan
perkotaan dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tentunya pemerintah daerah
harus segera bersiap diri agar dapat menerapkannya dengan baik. Melalui tulisan
ini, penulis mencoba menjabarkan berbagai peluang dan tantangan yang harus
dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, sebagai bahan rujukan sebelum tenggang
waktu persiapan berakhir.
Medio September 2009 lalu, pemerintah telah mengesahkan
Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(UU PDRD), yang secara resmi berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU
PDRD tersebut akan menggantikan UU PDRD yang lama, yaitu UU Nomor 18 Tahun 1997.
Penggantian UU ini dipicu karena
adanya sejumlah perubahan yang fundamental dalam hal pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah. Salah satunya adalah dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) khusus sektor perdesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah. Sebagai informasi, selama ini PBB dan
BPHTB merupakan pajak pusat.
Lebih lanjut, dalam UU PDRD yang
baru PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) termaktub dalam Bab II Bagian Keenam
Belas. Menyusul, BPHTB diatur dalam Bagian Ketujuh Belas pada bab yang sama.
Latar Belakang Pengalihan
Seperti disinggung di awal, UU Nomor
12 Tahun 1994 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan dan UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, telah
menetapkan bahwa PBB dan BPHTB tergolong sebagai pajak pusat.
Walaupun berstatus sebagai pajak pusat, penerimaan pajak
tersebut secara mayoritas diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara
seperti ini sebenarnya lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota
(pemerintah daerah). Tentu karena pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan
biaya tinggi untuk memungut pajak tersebut. Pemerintah daerah tinggal menerima
dana bagi hasilnya dari pemerintah pusat. Singkat kata, sebagian besar dari
mereka tidak ingin menerima pengalihan ini.
Jika demikian halnya, pertanyaan
yang muncul adalah mengapa pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2
dan BPHTB menjadi pajak daerah? Menurut penulis, jawabannya adalah karena adanya
beberapa kenyataan, antara lain:
a. Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah.
b. Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN.
c. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang merupakan peleburan dari KPP, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika diamati, keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan dan tidak diimbangi dengan jumlah penerimaannya, memang bisa dirasakan mengganggu konsentrasi Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan KPP Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan PBB menjadi lebih efisien.
Memang, bukanlah hal mudah dalam
memprediksi/menargetkan berapa pajak yang akan diperoleh sebuah kabupaten/kota,
mengingat sifat Objek BPHTB yang spesifik, tergantung pada volume transaksi
perolehan hak atas tanah yang sangat sulit untuk diprediksi setiap tahunnya.
Penerimaan daerah kabupaten/kota
bisa mengalami peningkatan/penurunan akibat adanya pengalihan PBB P2 dan BPHTB.
Peningkatan ini terjadi karena:
a. Penerimaan PBB P2 dan BPHTB akan sepenuhnya menjadi bagian kabupaten/kota;
b. Dihapuskannya pengenaan BPHTB untuk waris, hibah wasiat dan hak pengelolaan (UU PDRD) akan menghapus PP Nomor 111 Tahun 2000 dan PP Nomor 112 Tahun 2000).
Sebaliknya, penurunan penerimaan dapat saja terjadi akibat:
a. NJOPTKP sekurang-kurangnya Rp10 juta
b. NPOPTKP sekurang-kurangnya Rp60 juta, sedangkan untuk hibah wasiat satu derajat dan waris diberikan NPOPTKP sekurang-kurangnya Rp300 juta.
NJOP Tak Ada, BPHTB Tak Bisa Dipungut
Jika menyitir bunyi Pasal 185 UU
PDRD, maka sejak 1 Januari 2010 pemerintah kabupaten/kota sudah diperbolehkan
untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Namun, pemerintah pusat tentu
menyadari bahwa tidak semua daerah siap dengan perubahan ini. Diperlukan
persiapan-persiapan yang matang sampai pemerintah daerah benar-benar siap untuk
menerapkan kebijakan pengalihan ini.
Terkait masa persiapan ini,
pemerintah mendelegasikan Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri
untuk mengatur tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Selain itu, pemerintah juga
memberikan tenggang waktu kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan segala
kelengkapan guna mendukung kebijakan baru tersebut.
Seperti yang diatur dalam Pasal 182
UU PDRD, pemerintah memberikan tenggang waktu sampai dengan 31 Desember 2013.
Artinya, suka atau tidak suka, pemerintah daerah harus menerima pengalihan PBB
P2 beserta seluruh aspeknya, mulai dari pengiriman Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP) sampai dengan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT),
pemenuhan hak Wajib Pajak sampai dengan sengketa dengan Wajib Pajak di
Pengadilan Pajak, Jakarta.
Sedangkan, BPHTB dialihkan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU PDRD, yakni pada 31
Desember 2010. Yang patut disayangkan, sampai dengan saat tulisan ini
diturunkan, peraturan pelaksana yang akan mengatur lebih lanjut tentang tahapan
pengalihan PBB P2 dan BPHTB sesuai dengan Pasal 182 tersebut, belum juga
diterbitkan. Padahal, bagi pemerintah kabupaten/kota yang sudah matang tingkat
persiapannya, mungkin saja ingin secepatnya menerima pengalihan pajak tersebut.
Peraturan tersebut tentu akan
menjadi trigger (pemicu) bagi pemerintah kabupaten/kota untuk segera menerima
pengalihan pajak tersebut. Sedang, bagi pihak (pemerintah daerah, red) yang
belum siap, ada baiknya segera mempersiapkan perangkatnya dan bila perlu dapat
melakukan kegiatan pengamatan (studi banding) terhadap kabupaten/kota yang telah
mengambil alih terlebih dulu.
Sementara itu, bagi kabupaten/kota
yang mungkin merasa potensi PBB P2 kurang memadai sehingga memutuskan untuk
tidak memungut, maka PBB P2 masih akan menjadi pajak pusat sampai dengan 31
Desember 2013. Namun demikian, keputusan ini akan membawa konsekuensi serius
pada BPHTB.
Mengapa? Sebab, sesudah tanggal
tersebut, maka UU PBB yang mengatur tentang PBB P2 tidak berlaku lagi, sehingga
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB P2 juga tidak ada lagi. Jika NJOP tidak ada,
maka harga transaksi dan nilai pasar tidak dapat dibandingkan dengan NJOP. Jika
tidak bisa dibandingkan, maka BPHTB tidak dapat dipungut!
Selain itu, kebijakan NJOPTKP
minimal Rp10 juta dan NPOPTKP minimal Rp60 juta dan Rp300 juta akan menyebabkan
hilangnya potensi pajak. Apabila pemungutan PBB P2 dirasakan tidak
menguntungkan, maka UU PDRD yang baru memperbolehkan Pemda untuk tidak
melakukan pemungutan PBB P2 (sudah dijelaskan di atas). Oleh karena itu, sebelum
memutuskan untuk tidak memungut PBB, ada baiknya jika terlebih dulu dibuat
simulasi penerimaan PBB P2 dan BPHTB dengan menggunakan data yang selama ini
sudah ada pada KPP Pratama.
Hal yang Perlu diketahui Pemerintah Daerah?
Dalam rangka menerima pengalihan PBB
P2 dan BPHTB, maka ada banyak hal yang harus diketahui dan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Hal-hal yang harus diketahui dan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota yang secara garis besar, dapat penulis kelompokkan
menjadi lima bagian, yaitu:
a. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Mengatur pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak merupakan salah satu tugas yang
harus dilakukan pemerintah. Untuk itu pemerintah harus berupaya untuk menyusun
agar prosedur pemungutan pajak menjadi efektif.
Salah satu rekomendasi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1997 agar
Indonesia keluar dari krisis ekonomi adalah dibentuknya kantor pajak baru, yaitu
LTO (large tax payer office/Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar). Dari
sinilah berkembang ke arah yang lebih luas lagi, yaitu reformasi birokrasi di
tubuh Departemen Keuangan (Depkeu). Salah satu hasil nyata dari reformasi
birokrasi tersebut khususnya di kubu Ditjen Pajak adalah terbentuknya KPP
Pratama.
Selain berhasil menerapkan administrasi modern, KPP Pratama juga telah mengubah
paradigma lama menjadi paradigma baru. Petugas pajak takut melanggar peraturan
sehingga korupsi dapat diminimalkan dan pelayanan kepada Wajib Pajak semakin
baik. Hal ini berarti, pelayanan kepada masyarakat menjadi prioritas utama.
Sebagai contoh, permohonan tentang penerbitan SPPT baru kini dijanjikan selesai
dalam waktu 1 (satu) hari kerja dengan catatan seluruh berkas adalah lengkap
dengan syarat tidak membutuhkan inspeksi ke alamat objek pajak.
Dengan adanya pengalihan PBB P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah, sama saja
artinya dengan memindahkan birokrasi. Pertanyaannya,mampukah kabupaten/kota
memberikan pelayanan prima pada Wajib Pajak sebagaimana layanan yang telah
diberikan oleh KPP Pratama?
Menjawab hal tersebut, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah
daerah. Semestinya, pemerintah daerah minimal bisa mengimbangi performa dari KPP
Pratama. Artinya, pemerintah daerah harus mampu memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat (Wajib Pajak PBB dan BPHTB) sebagaimana yang telah diberikan
oleh KPP Pratama.
Satu hal lagi, sistem administrasi modern perpajakan yang diterapkan oleh Ditjen
Pajak, telah memaksa Ditjen Pajak untuk menciptakan aturan/SOP (standard
operating procedure) baru ataupun menyempurnakan SOP yang telah ada. Semoga
pemerintah kabupaten/kota juga mampu menciptakan SOP dengan kualitas minimal
sama dengan yang sebelumnya.
b. Administrasi PBB P2 dan Pengelolaan BPHTB
Sebelum menerima kebijakan pengalihan ini, sebaiknya pemerintah kabupaten/kota
melakukan sosialisasi terlebih dulu. Tidak hanya mengenai alamat kantor yang
baru, peluang dikenakannya BPHTB lebih tinggi untuk waris, hibah wasiat dan
lain-lain, tapi juga perlu diimbangi sosialisasi tentang Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Di mana dalam ketentuannya ditetapkan minimal
Rp60 juta per Wajib Pajak dan Rp300 juta untuk hibah wasiat satu derajat dan
waris. Lebih penting lagi, perlu ditekankan bahwa semua pelayanan yang diberikan
tidak dipungut biaya alias gratis.
Dalam proses administrasi dan pengelolaan PBB P2 ini tentu diperlukan sumber
daya manusia (SDM) yang mumpuni. Salah satunya dibutuhkan SDM untuk penilai
(appraiser/valuer) dan operator console. Profesi Penilai dibutuhkan untuk
menghitung NJOP khususnya objek khusus dan objek non standar contohnya,
pelabuhan udara, pelabuhan laut, jalan tol, kampus, rumah sakit, hotel,
restoran, lapangan golf, gedung bioskop, apartemen, pusat perbelanjaan/mall,
SPBU, menara seluler, toko, ruko, pabrik, bendungan PLTA, pembangkit listrik
tenaga panas bumi/PLTP, tambak ikan, areal pembudidayaan ikan/kerang mutiara,
areal penangkapan ikan di laut, perumahan, pertanian dan lain-lain.
Penilaian properti yang dilakukan oleh tenaga penilai tidak semata ditujukan
untuk menentukan NJOP, tetapi dapat juga untuk tujuan yang lain, misalnya
menilai aset daerah, pembebasan tanah yang adil, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha, perbankan, asuransi, tukar guling, pembebasan lahan dan
lain-lain.
Selain melakukan kegiatan penilaian, seorang penilai harus mampu melakukan
pemetaan, dari tingkat konvensional sampai dengan pembuatan peta digital. Namun
sayang sekali, sampai hari ini, satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan formal untuk mencetak penilai adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
(STAN) dan Universitas Gadjah Mada pada Program Pasca Sarjana (S-2).
Lebih lanjut, proses pendistribusian SPPT kepada Wajib Pajak sering melibatkan
peran serta aparat mulai dari RT, RW, kepala desa dan camat. Oleh karena itu,
jerih payah mereka hendaknya dihargai sewajarnya. Diharapkan jangan berlebihan
dalam memberikan punishment terhadap mereka. Jerih payah para pejabat seperti
notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat lelang, badan pertanahan dan
pejabat di pengadilan juga semestinya jangan dilupakan. Hal ini sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 24 UU BPHTB ataupun Pasal 91 UU PDRD.
Tidak hanya SDM, perangkat lain yang juga diperlukan dalam pengalihan PBB P2 dan
BPHTB adalah Kantor Pelayanan PBB (KP PBB). Bila dulu, nama KP PBB adalah sesuai
dengan nama kabupaten ataupun kota, misalnya KP PBB Kota X. Kemudian, jika
terpaksa dilakukan pemekaran kantor, maka dibentuklah KP PBB Kota X Satu, KP PBB
Kota X Dua, KP PBB Kota X Tiga dan seterusnya.
Sekarang, nama KPP Pratama tidak lagi berdasarkan nama kabupaten ataupun kota,
tetapi cenderung kepada nama kecamatan, bahkan nama kelurahan. Artinya, dalam
pendirian/pembentukan kantor-kantor baru, maka pemerintah kabupaten/kota pun
sebaiknya mengadopsi KPP Pratama, terutama untuk kota besar semacam Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Palembang dan kota lainnya. Hal
ini ditujukan untuk memperluas cakupan pelayanan dan cakupan penggalian potensi,
tentunya dengan mempertimbangkan biaya yang harus disediakan.
c. Pemahaman Metode Penilaian Objek PBB
Dalam menilai Objek PBB, digunakan 2 (dua) metode penilaian, antara lain:
a. Penilaian Individual
Adalah suatu cara penilaian terhadap Objek PBB
dengan cara memperhitungkan semua karakteristik dari setiap Objek PBB. Kegiatan
penilaian individu diterapkan untuk objek pajak non standar, objek pajak khusus
maupun objek pajak yang bernilai tinggi (NJOP-nya lebih dari Rp1 miliar).
b. Penilaian Massal
Dibutuhkan cara yang cepat untuk menilai Objek PBB yang berjumlah ribuan bahkan
jutaan. Caranya adalah dengan menggunakan penilaian massal, yaitu suatu metode
penilaian yang sistematis untuk sejumlah objek pajak yang dilakukan pada saat
tertentu secara bersamaan dengan menggunakan suatu prosedur standar, yang
biasanya disebut dengan Computer Assisted Valuation (CAV).
d. Pemahaman tentang Karakter PBB P2 dan BPHTB
Sebagai langkah awal untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB, sudah
seharusnya para pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mengetahui
perbedaan antara bea dan pajak, serta perbedaan antara bumi dan hak atas tanah.
Tidak sedikit pula masyarakat yang belum mengerti mengapa dinamakan PBB bukannya
Bea Bumi dan Bangunan (BBB) ataupun Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB).
Juga, mengapa dinamakan BPHTB, bukannya Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PPHTB) ataupun Bea Perolehan Bumi dan Bangunan (BPBB).
Walaupun UU BPHTB sudah berumur hampir 12 tahun, tidak sedikit petugas pajak
yang salah memahami dan menerapkannya. Misalnya tidak memahami apa yang menjadi
objek, tidak memahami NPOPTKP, tidak memahami filosofi waris sehingga dikenakan
BPHTB yang memberatkan Wajib Pajak, tidak mengetahui hakikat Surat Tagihan BPHTB
(STB), Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) dan Surat Keterangan BPHTB
Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT). Akibatnya sering terjadi salah penerapan
undang-undang.
Ada
juga isi dari UU PDRD yang harusnya dijelaskan secara panjang lebar, tetapi
dijelaskan hanya dengan dua kata yaitu cukup jelas. Oleh karena itu, untuk
memahami secara benar UU PDRD khususnya bagian Ketujuh Belas, maka harus
dilakukan penafsiran secara historis (merujuk kembali kepada UU Nomor 21 Tahun
1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000).
Satu lagi, pada Pasal 2 UU BPHTB (ataupun Pasal 85 ayat (2) UU PDRD) penulis
menyebutnya sebagai objek eksplisit. Objek ini sangatlah jelas. Sebaliknya,
objek implisit (Pasal 85 ayat (4) huruf d UU PDRD) masih remang-remang. Objek
implisit akan menjadi terang benderang manakala peraturan yang menjelaskannya
ada dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Tetapi sayang, sampai hari ini
pun peraturan penjelas tersebut tidak pernah ada. Oleh karena itu, perlu adanya
kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menjelaskannya,
mengingat BPHTB sering menyerempet kepada ranah BPN.
Peraturan yang kurang jelas, akan menimbulkan salah persepsi yang dapat memicu
munculnya sengketa. Contohnya PBB sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan
(PBB P3) misalnya perkebunan dengan luas sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar dalam
hal tertentu bisa dituntut sebagai PBB P2. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang
sama antara Ditjen Pajak dengan pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan objek
apa saja yang tergolong PBB P2 atau PBB P3.
Contoh lainnya adalah kuburan komersil, sekolah swasta komersil atas nama
yayasan, rumah sakit komersil atas nama Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat
(IPSM). Dikenakan atau tidaknya objek tersebut, tampaknya pemerintah
kabupaten/kota perlu memahami peraturan dengan baik dan benar.
Pemahaman peraturan PBB P2 dan BPHTB lainnya adalah seputar pemahaman aturan
sengketa pajak. Pada dasarnya, dalam keberatan pajak terkandung sebuah sengketa,
tepatnya adalah sengketa antara Wajib Pajak dengan Dirjen Pajak. Dengan
demikian, pengalihan PBB P2 dan BPHTB berakibat juga pada pemindahan sengketa
pajak ke kabupaten/kota. Tidak tertutup kemungkinan, sengketa tersebut akan
terbawa ke Pengadilan Pajak. Pengalihan PBB P2 dan BPHTB harus tetap
memerhatikan proses keberatan yang lama prosesnya sampai 12 bulan, pembetulan
yang jangka waktunya sampai dengan daluarsa, dan lain-lain.
Sementara itu, pengalihan PBB P2 dan BPHTB tentunya dialihkan juga tentang data
Objek dan Subjek PBB P2 dan BPHTB. Hal ini tentu akan memudahkan dalam proses
penindakan terhadap daluarsa penetapan, penagihan dan pidana. Contoh yang paling
sederhana adalah jangan sampai terjadi pembayaran ganda, misalnya Wajib Pajak
yang sudah membayar PBB, akan dipaksa membayar lagi manakala ia tidak bisa
menunjukkan bukti pembayarannya (Surat Tanda Terima Setoran).
Lebih lanjut, pengalihan PBB P2 dan BPHTB ini seharusnya mampu menciptakan
suasana yang kondusif bagi masuknya arus modal ke kabupaten/kota. Contohnya,
keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) untuk hak atas
tanah akan berakibat pada makin tingginya BPHTB yang harus dibayar oleh pemegang
hak atas tanah tersebut. Mengapa? Karena NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak)
pemberian hak baru adalah nilai pasar, jika tidak diketahui maka NPOP adalah
NJOP PBB. Artinya semakin lama, maka NJOP makin tinggi. Solusinya adalah perlu
koordinasi yang lebih baik lagi dengan BPN sebagai pihak yang menerbitkan SKPH.
Pemahaman seputar produk/keluaran PBB juga sepatutnya menjadi perhatian.
Pasalnya, produk/keluaran PBB, misalnya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) sering dianggap masyarakat sebagai bukti pemilikan hak atas tanah.
Padahal SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB P2
yang terutang kepada Wajib Pajak. Anggapan ini semakin dipertegas oleh BPN yang
masih mensyaratkan SPPT sebagai salah satu bagian dalam proses pendaftaran
tanah. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, ada baiknya jika SPPT nihil tetap
diterbitkan.
Selain itu, sebagian besar masyarakat juga enggan untuk mengetahui BPHTB,
sehingga segala macam urusan BPHTB diserahkan kepada para pejabat sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 UU BPHTB (Pasal 91 UU Nomor 28 Tahun 2009). Lebih jauh
lagi adalah bahwa masyarakat tidak tahu bahwa sebetulnya ada kondisi-kondisi
tertentu (misalnya pengurangan) yang telah diatur dalam undang-undang dan
peraturan Menteri Keuangan, yang dapat menyebabkan berkurangnya pembayaran BPHTB
dan ini adalah legal/sah.
e. Hal Krusial Lainnya
Dewasa ini, Ditjen Pajak sudah merintis jalan untuk mempublikasikan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) bumi melalui internet. Harapan dari publikasi NJOP bumi
adalah agar tercipta transparansi pembentukan NJOP serta meningkatkan peranan
masyarakat dalam pembentukan NJOP.
Dalam hal ini, Ditjen Pajak memerlukan kerja sama dengan berbagai instansi baik
pemerintah ataupun swasta. Misalnya, agar dapat tercipta NJOP yang mendekati
nilai pasar, maka perlu kerja sama dengan pihak broker properti. Mengingat
sampai hari ini tidak ada kewajiban bagi broker properti untuk melaporkan data
listing dan data transaksi usahanya. Berbeda dengan notaris/PPAT yang selalu
memberikan laporan setiap bulannya.
Contoh lain adalah koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang wilayahnya
berbatasan satu dengan yang lain sehingga NJOP bumi di daerah yang saling
berbatasan adalah sama, tentunya dengan syarat mempunyai sifat fisik, fasilitas,
aksesibilitas yang sama/serupa. SPPT PBB atas objek yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan seharusnya diterbitkan, dan tidak perlu dikenakan
PBB. Hal ini semata-mata ditujukan untuk mengetahui nilai asetnya sebagai bagian
awal dari Manajemen Aset Daerah yang lebih luas lagi.
Memang, peraturan membolehkan kegiatan pendataan Objek dan Subjek PBB dilakukan
oleh pihak ketiga (swasta). Tetapi sayang, mutu/kualitas produk/output yang
dihasilkan pihak ketiga tidak lebih baik dari produk/output yang dihasilkan oleh
fungsional penilai PBB. Oleh karena itu, prinsip hati-hati dan waspada harus
selalu dikedepankan agar kesalahan yang selama ini terjadi tidak akan terulang
kembali. Tentu pemerintah kabupaten/kota pasti mampu memaksa pihak broker
properti untuk melaporkan data-data tersebut. Hal ini pun dapat diberlakukan
kepada pengembang properti.
Bahasan selanjutnya adalah selama
ini NJOP selalu digunakan untuk kepentingan PBB. Namun, bukan tidak mungkin jika
NJOP tidak hanya digunakan untuk kepentingan PBB, tetapi juga dapat digunakan
untuk segala tujuan. Alangkah baiknya jika NJOP bisa menjadi single value for
multi purpose (SVMP). Contoh sederhana adalah jika untuk kepentingan PBB,
masyarakat menginginkan NJOP yang rendah, tetapi manakala ditujukan untuk tujuan
ganti rugi, maka masyarakat tidak mau menggunakan NJOP karena dianggap terlalu
rendah nilainya.
Penutup
Bagaimanapun juga, langkah terbaik
yang seharusnya ditempuh para pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan baru
ini adalah segera membenahi dan melengkapi segala kekurangan yang ada.
Seyogyanya, segala hambatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan
menjadi peluang
¢
0 komentar:
Posting Komentar