SOSIALISASI PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PEDESAAN DAN PERKOTAAN ( PBB-P2 )

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 20 November 2012

Memahami Pengelolaan PBB P2 dan Menyiapkan Peraturan Pendukungnya

Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 maka pajak PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) akan dialihkan menjadi pajak daerah dan akan dilaksanakan oleh penerintah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya mulai 1 Januari 2014. Untuk itu setiap Kabupaten/Kota sudah mulai menyiapkan segala sesuatunya sesuai dengan arahan yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor Negeri Nomor 213/PMK.07/2010  dan Menteri Dalam Negeri Nomor 58 Tahun 2010. Dalam peraturan tersebut setiap daerah diminta menyiapkan:
  1. Sarana dan prasarana pendukung,
  2. Struktur organisasi dan tata kerja,
  3. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan SOP,
  4. Kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dan
  5. Pembukaan rekening penerimaan PBB P2 pada bank yang sehat.
Cara pengelolaan PBB P2 ini tentunya berbeda dibandingkan dengan BPHTB yang sudah dikelola sebelumnya oleh Pemda Kabupaten/Kota. Perbedaan ini antara lain terletak pada sistem pemungutan pajaknya. Pengelolaan pemungutan BPHTB lebih mengarah pada Self Assessment System dimana otoritas pajak memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menuntukan sendiri besarnya Pajak yang terutang. Pemberian wewenang tersebut antara lain berupa:
  1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri,
  2. Wajib Pajak Aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,
  3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sedangkan untuk PBB P2 pengelolaannya lebih cenderung pada Official Assessment System dimana fiskus diberikan wewenang untuk menuntukan besarnya pajak yang terhutang. Pemberian wewenang tersebut antara lain berupa:
  1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang,
  2. Wajib Pajak lebih bersifat pasif kecuali dalam hal melaporkan objek pajak yang dimiliki,
  3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Untuk BPHTB fiskus lebih menunggu terjadinya pembayaran dan mengawasinya, sedangkan untuk PBB P2 fiskus harus menetapkan terlebih dahulu besar pajaknya atas objek pajak yang dimiliki/ dikuasai/ dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Nah permasalahannya sekarang, bagaimana mengelola ketetapan PBB P2 tersebut.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, objek PBB P2 adalah:
  1.  Bumi dan/ atau,
  2. Bangunan
Yang dimiliki, dikuasai dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan (P3).
klik untuk memperbesar gambar


Salah  satu prasyarat penting yang harus dipenuhi oleh Pemda kabupaten/Kota untuk mengelola PBB P2 adalah memiliki Perda PBB P2 dan Peraturan Pendukungnya. Karena dengan berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009, maka menurut pasal 180 ayat 5 UU Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12  Tahun 1994 dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga otomatis seluruh peraturan pendukung yang selama ini digunakan dan mengacu pada UU 12 Tahun 1985 juga tidak bisa digunakan lagi.
Perlu diketahui bahwa terdapat sedikit perbedaan cara perhitungan ketetapan PBB P2. Ketetapan PBB P2 saat ini dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
klik untuk memperbesar gambar

Dalam hal ini tarif maksimum adalah 0,3% (dimana tarif efektif yang lama adalah 0,1% dan 0,2%) dan NJOPTKP dapat ditetapkan minimal 10 juta rupiah. Dari ketiga variabel penentu ketetapan PBB P2 tesebut ada 2 yaitu tarif dan NJOPTKP yang besarannya harus diatur dalam Perda. Artinya penentuan kedua variabel ini harus dibicarakan dengan pihak legislatif dalam hal ini DPRD. Sedangkan variabel yang dapat murni dikelola oleh Pemda adalah dalam hal menentukan NJOP.
  1. Perda PBB P2 perlu dibahas dan disahkan oleh DPRD,
  2. Perda kemudian disampaikan ke Provinsi untuk dilakukan review, dan kemudian
  3. Perda tersebut dimintakan persetujuan ke Menteri Keuangan cq. Menteri Dalam Negeri,
  4. Membuat surat pemberitahuan ke Menkeu cq. Mendagri tentang permintaan pendaerahan PBB P2 paling lambat 31 Juni sebelum tahun pengalihan.
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Perda yaitu:
  1. Penentuan tarif max 0,3%, dan
  2. Penentuan NJOPTKP min Rp. 10 juta.
Khusus dalam hal penentuan tarif pajak perlu mendapat perhatian dan kajian mendalam, karena hal ini sangat menyangkut pada jumlah pokok ketetapan yang akan dihasilkan dan besarnya pajak terhutang yang akan dibebankan kepada masyarakat.

Salah satu contoh simulasi dapat dilihat pada gambar di atas. paling tidak ada 2 variabel yang perlu diperhatikan dalam melakukan simulasi/ kajian besaran tarif yang akan diterapkan yaitu jumlah SPPT dan jumlah pokok ketetapan per buku ketetapan. Sebagai contoh untuk Kabupaten Padang Panjang jumlah SPPT buku 1,2,3 adalah sebanyak 99,5% dan  jumlah ketetapannya adalah 67% dari total ketetapan. Perlu diketahui bahwa ketetapan PBB P2 pada buku 1,2,3 adalah dari nol sampai 2 juta rupiah. Dan pada umumnya tarif efektif PBB P2 yang lama untuk buku 1,2,3 ini adalah sebesar 0,1%. Artinya 99,5% wajib pajak PBB P2 yang berada di Kabupaten Padang Panjang berada di buku 1,2,3 dan awalnya dikenakan tarif 0,1%. Sedangkan sisanya hanya 0,5% yang awalnya dikenakan tarif efektif sebesar 0,2%.
Untuk itu perlu diperhatikan dilakukan kajian mendalam bila ada Pemda yang akan merubah struktur tarif tersebut kearah yang lebih tinggi atau bahkan menerapkan tarif maksimal 0,3%. Bila demikian maka 99,5% masyarakat di wilayah tersebut akan mengalami kenaikan ketetapan PBB P2 sebesar 3 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sehubungan dengan tidak dapat digunakannya lagi peraturan-peraturan pendukung PBB P2 yang selama ini ada maka  untuk itu Pemda Kabupaten/Kota apabila tetap akan menggunakan sistem pemungutan PBB P2 yang sama seperti yang dilakukan oleh DJP selama ini maka harus melakukan replikasi ulang terhadap beberapa beraturan pendukung tersebut. Beberapa peraturan pendukung yang perlu direplikasi antara lain:
  1. Klasifikasi NJOP (Klas tanah dan bangunan): KMK-523/KMK.04/1998 jo PMK-150/PMK.03/2010,
  2. Tata cara pendaftaran, pendataan dan penilaian objek dan subjek pajak PBB P2: KEP-533/PJ/2000 jo KEP-115/PJ/2002,
  3. Tata cara penerbitan SPPT: PER-34/PJ/2008,
  4. Tata cara pengajuan keberatan: PER-25/PJ/2009 jo PER-16/PJ/2010,
  5. Tata cara pengajuan banding: KEP-635/PJ/2001,
  6. Tata cara pengurangan: PMK-110/PMK.03/2009 jp PER-46/PJ/2009,
  7. Tata cara pengurangan sanksi administrasi: PER-6/PJ/2008 jo PER-18/PJ/2010,
  8. Tata cara pembatalan SPPT, SKP, STP PBB yang tidak benar: PER-56/PJ/2009 jo PER-17/PJ/2010 dan PMK-111/PMK.03/2009,
  9. Tata cara penagihan dengan surat paksa dan pelaksanaan penagihan seketika sekaligus: PMK24/PMK.03/2008 jo PMK-85/PMK.03/2010,
  10. Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan utk kepentingan penagihan: KEP-563/KMK.04/2000,
  11. Tata cara penghapusan piutang pajak: KMK-335/KMK.04/1996, KEP-45/PJ.6/1996 jo KEP-13/PJ.6/1999, KMK-505/KMK.04/2000 jo KMK-539/KMK03/2002,
  12. Tata cara penerbitan STP dan penagihan PBB P2: KEP-503/PJ/2000,
  13. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PBB P2: PMK-05/PMK.03/2005 jo PMK-66/PMK.03/2005, SKB KEP-26/A/51/0591 dan KEP-752/PJ.6/1991 ,
  14. Tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak: KEP-47/PJ/2003, PER-58/ PJ/2009,
  15. Tata cara pembetulan dan pembatalan: PER-37/PJ/2008,
  16. Tata cara pelayanan PBB P2: SE-19/PJ6/1994.
Variabel ke 3 yang perlu dikelola untuk menentukan besarnya ketetapan PBB P2 adalah NJOP. Wewenang penentuan NJOP menurut UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 79 ayat 3 berada di Kepala Daerah. Penentuan besarnya NJOP tanah dan bangunan dilakukan melalui Pendataan dan Penilaian objek pajak. Yang dimaksud dengan kegiatan pendataan PBB adalah semua kegiatan untuk memperoleh, mengumpulkan, melengkapi dan menatausahakan data Obyek (OP) dan Subyek (SP) Pajak PBB. Pendataan OP dan SP ini dilakukan menggunakan SPOP dan LPOP yang nantinya dituangkan dalam peta.

Nah setelah OP diketahui siapa pemiliknya, apa karakteristiknya dan dimana lokasinya maka kemudian perlu ditentukan berapa nilainya melalui kegiatan Penilaian OP agar dapat dihitung berapa ketetapan PBB P2 nya. Untuk menentukan nilai OP tentunya diperlukan metode dan cara menulainya. Metode penilaian yang digunakan pada umumnya ada 3:
  1. Pendekatan data pasar, umumnya digunakan untuk menentukan nilai tanah,
  2. Pendekatan biaya, umumnya digunakan untuk menentukan nilai bangunan, dan
  3. pendekatan pendapatan.
klik untuk memperbesar gambar

Karena objek pajak yang dikelola sangat banyak dan tidak mungkin dinilai satu persatu maka diperlukan adanya penilaian secara massal menggunakan metode tersebut yang digenerate oleh program komputer yang disebut CAV (computer assisted valuation). Namanya juga dilakukan secara massal pasti akan terjadi deviasi disana khususnya untuk OP yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan lainnya, maka tetap diperlukan penilaian individual untuk mengakomodasi bila ada OP yang berdasarkan hasil penilaian massal ternyata tidak sesuai dengan nilai pasar wajarnya.

Hasil penilaian tanah adalah berupa NIR (nilai indikasi rata-rata) dan hasil penilaian bangunan berupa nilai bangunan. Sebelum menjadi NJOP kedua nilai tersebut harus dimasukkan dalam klasifikasi terlebih dahulu. Setelah diklasifikasikan dan dikombinasikan dengan hasil pendataan (NJOP = NJOP tanah x luas tanah + NJOP bangunan x luas bangunan) maka dihasilkanlah NJOP tanah dan bangunan. Dengan demikian variabel NJOP akhirnya dapat diproduksi.
Langkah terakhir adalah memasukkan ke 3 variabel tersebut (tarif, NJOP dan NJOPTKP) kedalam rumus dan akhirnya ketetapan PBB P2 yang tertuang dalam SPPT PBB dapat diproduksi.
Aturan Klasifikasi NJOP
  • Sektor yg diklasifikasikan adl sektor P2,
  • Klas NJOP bumi ada 100 klas,
  • Klas NJOP bangunan ada 40 klas,
  • Dalam hal nilai jual bumi/ bangunan utk OP PBB P2 lebih besar dari nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi/ bangunan yg tercantum dlm ketentuan ini maka nilai jual bumi/ bangunan tersebut ditetapkan sbg NJOP bumi/ bangunan.
klik untuk memperbesar gambar


Aturan Tata cara Pendaftaran dan Pedanil
1.Pelaksanaan pembentukan basis data SISMIOP,
2.Unsur SISMIOP: NOP, blok, ZNT, DBKB dan program komputer,
3.Pembentukan basis data:
   A.Pendaftaran OP PBB,
   B.Pendataan OP PBB dg alternatif kegiatan:
      a)Penyampaian dan pengembalian SPOP,
      b)Identifikasi OP,
      c)Verifikasi data OP,
      d)Pengukuran bidang OP.
  C.Penilaian OP PBB: jenis OP, pendekatan dan cara penilaian, pelaksana
     penilaian,
  D.SIG
4.Pemeliharaan basis data SISMIOP dilakukan dg cara pasif dan aktif:
   A.Pendaftaran,
   B.Pemeliharaan basis data kolektif,
   C.Penyempurnaan ZNT/NIR,
   D.Pemeliharaan basis data subjek/objek pajak.
5.Pengawasan, pelaporan dan evaluasi,
6.Struktur organisasi/ tim pelaksana, jadwal kegiatan, pembiayaan, standar biaya
   dan pertanggungjawaban keuangan,
7. Pelaksanaan kegiatan pendataan dg melibatkan pihak terkait atw dapat
   melibatkan pihak ketiga,
Aturan Tata cara penerbitan SPPT
1.Definisi, bahan, bentuk, spesifikasi teknis dan isi SPPT, STTS dan DHKP,
2.Format formulir SPPT, STTS dan DHKP,
3.Penandatanganan dan paraf SPPT: ttd basah, cap, cetakan,
4.Penerbitan SPPT/ STTS: pencetakan massal, pencetakan dlm rangka: pebuatan salinan/ penerbitan sbg tindak lanjut dari keputusan keberatan-pengurangan-pembetulan, pendaftaran OP baru, mutasi,
5.Pelaksanaan cetak massal SPPT:
a)Penyediaan sarana dan prasarana,
b)Pencantuman nama bank TP,
c)Jadwal/ siklus pelaksanaan cetak massal,
d)Prosedur cetak: SPPT, STTS, DHKP, SK Bupati/Walikota ttg klasifikasi dan besarnya NJOP bumi dan bangunan sebagai dasar pengenaan PBB P2.
6.Petunjuk teknis simulasi ketetapan dan cetak massal,
Contoh SPPT:

Contoh STTS:

Aturan Tata cara pembayaran, angsuran/penundaan pembayaran
1.Tempat Pembayaran (TP) PBB P2,
2.Penunjukan TP off line, on line, semi on line, elektronik dan tata caranya,
3.Tata cara pembayaran PBB melalui fasilitas perbankan elektronik,
4.Penunjukan petugas pemungut dan tata cara pemungutan PBB oleh petugas pemungut,
5.Prosedur pelimpahan pembayaran oleh TP ke kasda,
6.Sanksi kepada TP yg melanggar ketentuan,
7.Pengawasan terhadap TP,
8.Pelaporan pembayaran,
9.Tata cara pemberian angsuran/ penundaan pembayaran,
klik untuk memperbesar gambar

Aturan Tata cara keberatan
1.Keberatan terhadap: SPPT/ SKP,
2.Keberatan dlm hal:
a)Luas tidak sesuai,
b)NJOP tidak sesuai,
c)Perbedaan penafsiran UU,
3.Pengajuan keberatan: perseorangan/ kolektif,
4.Syarat-syarat pengajuan keberatan,
5.Jangka waktu pengajuan keberatan,
6.Jangka waktu penyelesaian keberatan,
7.Prosedur penyelesaian keberatan,
8.Keputusan keberatan: menerima seluruhnya, menerima sebagian, menambah, menolak,
9.SK keberatan dan SPPT hasil keberatan,
Aturan Tata cara banding
1.Banding,
2.Prosedur pembuatan Surat Uraian Banding (SUB),
3.Jangka waktu pembuatan SUB,
4.Prosedur menghadiri sidang banding di BPSP,
Prosedur pengawasan pelaksanaan putusan banding
Aturan Tata cara pemberian pengurangan
1.Pemberian pengurangan terhadap:
a)kondisi tertentu,
b)bencana alam,
c)sebab lalin yg luar biasa,
2.Kriteria kondisi tertentu, bencana alam dan sebab lain yg luar biasa,
3.Pemberian pengurangan terhadap: SPPT/ SKP,
4.Besarnya pengurangan: 75%, maks 75%, maks 100%,
5.Permohonan pengurangan: kolektif/ perseorangan,
6.Pengajuan pengurangan: OP/ badan,
7.Persyaratan pengajuan pengurangan,
8.Jangka waktu pengajuan pengurangan: 3 bulan,
9.Jangka waktu penyelesaian pengurangan,
10.Prosedur penyelesaian pengurangan,
11.Keputusan pengurangan: menerima sebagian, menerima seluruhnya, menolak,
12.SK pengurangan dan SPPT hasil pengurangan.
Aturan Pemberian pengurangan/ penghapusan denda administrasi
1.Pemberian pengurangan terhadap denda adm karena hal2 tertentu: kesulitan keuangan/ likuiditas,
2.Pemberian pengurangan denda adm terhadap: denda adm 25% dr pokok SKP dan denda adm 2% sebulan dr pokok SPPT,
3.Pengajuan permohonan secara perorangan/ kolektif,
4.Pengajuan oleh OP/ badan,
5.Persyaratan pengajuan pengurangan,
6.Jangka waktu pengajuan,
7.Jangka waktu penyelesaian,
8.Prosedur penyelesaian pengurangan,
9.Keputusan pengurangan: menerima sebagian, menerima seluruhnya, menolak,
SK pengurangan,
Aturan Tata cara pembatalan SPPT, SKPD, STPD
1.Pemda secara jabatan atau atas permohonan WP dapat membatalkan SPPT, SKPD atau STPD yang tidak benar,
2.Pengajuan permohonan dilakukan secara perseorangan/ kolektif,
3.Kelengkapan persyaratan permohonan,
4.Jangka waktu proses penyelesaian pembatalan,
5.Proses dan prosedur pembatalan,
6.Keputusan pembatalan SPPT/ SKPD/ STPD: menerima/ menolak,
7.SK pembatalan,
Aturan Tata cara pembetulan
1.Pemda secara jabatan/ permohonan WP dapat melakukan: pembetulan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu,
2.Pembetulan terhadap: SPPT, SKPD, STPD, SK pengurangan, SK pengurangan denda adm, SK pembetulan, SK pembatalan, SK keberatan, SK penghapusan denda adm,
3.Definisi kesalahan: atas kesalahan/ kekeliruan yg bersifat manusiawi dan tdk mengandung persengketaan antara fiskus dan WP berupa:
a)Kesalahan hitung,
b)Kesalahan tulis,
c)Kekeliruan penerapan ketentuan tertentu,
4.Permohonan pembetulan diajukan oleh WP secara perorangan/ kolektif,
5.Persyaratan yg harus dipenuhi,
6.Kelengkapan persyaratan permohonan,
7.Jangka waktu proses penyelesaian pembetulan,
8.Proses dan prosedur pembetulan,
9.Keputusan pembetulan: menerima/ menolak,
10.SK pembetulan,
Aturan Tata cara penerbitan STPD 
1.STPD diterbitkan terhadap: SPPT/ SKPD yg tidak/ kurang bayar setelah lewat jatuh tempo,
2.Penerbitan STPD tidak didahului oleh surat teguran
3.Denda adm: 2% per bulan maks 24 bulan dr JT SPPT/ SKPD sampai tgl pembayaran,
4.Jangka waktu pelunasan STPD 1 bulan sejak diterimanya STPD,
5.Prosedur penerbitan STPD,
6.Bentuk formulir STPDdan daftar penjagaan utk pengawasannya.
Aturan Tata cara penghapusan piutang
1.Piutang yg dapat dihapuskan adl piutang pajak yg tercantum dlm: SPPT, SKPD, SKPDT, STPD , SK pembetulan, SK pembatalan, SK keberatan, putusan bandung yg menyebabkan pajak yg harus dibayar bertambah, atau piutang pajak menurut pemda tdk dapat ditagih lagi yg disebabkan WP meninggal dg tdk meninggalkan warisan, tdk punya ahli waris, ahli waris tdk dapat ditemukan, tdk punya harta kekayaan lagi, penagihan sudah daluarsa, karena sebab lain,
2.Syarat2 yg harus dipenuhi utk penghapusan piutang,
3.Prosedur penghapusan piutang: penelitian kantor dan penelitian lapangan,
4.Usulan penghapusan piutang,
5.Jangka waktu pengajuan Usulan penghapusan piutang,
Aturan Tata cara restitusi dan kompensasi
1.Atas kelebihan pembayaran pajak, kpd WP dpt diberikan pengembalian kelebihan tsb berupa restitusi (dikembalikan)/ kompensasi dg hutang pajak lainnya/ disumbangkan ke negara,
2.Pengajuan permohonan dan persyaratannya,
3.Permohonan dapat diterima sebagian, seluruhnya/ ditolak,
4.Proses penelitian dan penyelesaian restitusi/ kompensasi,
5.Jangka waktu pengajuan permohonan,
6.Jangka waktu penyelesaian permohonan,
7.Pengembalian kelebihan pembayaran merupakan pengurangan atas realisasi penerimaan tahun berjalan,
8.Pembebanan anggaran utk pengembalian kelebihan pembayaran,
9.Bentuk formulir dan pengawasannya
Aturan Tata cara pelayanan
1.Pelayanan Satu Tempat (PST) untuk memberikan pelayanan urusan PBB P2 secara cepat dan aktif kepada WP,
2.Jenis urusan PBB P2 yang dilayani:
1.Pendaftaran OP baru,
2.Mutasi subjek/ objek pajak,
3.Pembetulan, pembatalan atau salinan SPPT, SKPD, STPD,
4.Keberatan SPPT, SKPD, penunjukan sebagai WP,
5.Pengurangan pajak terhutang dan denda administrasi,
6.Restitusi/ kompensasi,
7.Penentuan kembali tanggal jatuh tempo pembayaran,
8.Penundaan tanggal jatuh tempo pengembalian SPOP,
9.Pemberian informasi PBB P2,
3.Persyaratan/ dokumen yg harus dipenuhi,
4.Jangka waktu penyelesaian pelayanan,
5.Prosedur/ tata cara memberikan pelayanan,
6.Formulir pelayanan,
7.Tempat/ fasilitas pelayanan.
Aturan Tata cara penagihan dg SP
1.Pemda dapat melakukan penagihan dlm hal utang pajak sbg mana tercantum dalam STP, SKPD, SK pembetulan, SK keberatan, putusan banding, putusan PK yang menyebabkan jumlah pajak yg harus dibayar bertambah dan tidak dilunasi sampai tanggal jatuh tempo,
2.Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yg masih harus dibayar kepada WP disampaikan surat teguran setelah 7 hari sejak saat JT pelunasan STP, SKPD, SK pembetulan, SK keberatan, putusan banding,
3.Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi setelah lewat 21 hari sejak tanggal penyampaian Surat Teguran, fikus akan menerbitkan Surat Paksa dan disampaikan kepada juru sita,
4.Juru sita akan melakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu JT dengan kriteria tertentu,
5.Apabila setelah lewat 2 x 24 jam sejak SP diberikan kepada WP utang pajak tidak dilunasi maka fiskus akan menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
6.Apabila setelah lewat 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan utang pajak dan biaya penagihan tidak dilunasi maka pejabat akan melakukan pengumuman lelang,
7.Apabila setelah lewat 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang utang pajak dan biaya penagihan tidak dilunasi maka pejabat akan melakukan penjualan barang sitaan melalui KLN
8.Tata cara pengangkatan dan pemberhentian juru sita pajak,
BAGAIMANA CARA PEMUNGUT PBB P2 NYA ?
  1. Penyiapan NJOP: Pendataan dan Penilaian, Data obek dan Nilai dilakukan oleh DJP,
  2. Penyiapan SPPT dan distribusinya: Penetapan memerlukan blanko, alat pencetak: dilakukan oleh Pemda,
  3. Penyiapan mekanisme Pembayaran: Penerimaan: perlu MoU kerjasama berupa Tempat pembayaran, Bank, PPAT, BPN dan Pemda,
  4. Proses Penagihan: Penagihan pasif & Aktif: dilakukan oleh Juru sita yang disiapkan oleh Pemda,
  5. Keberatan, pengurangan, pembetulan, pembatalan dll merupakan proses  Pelayanan: perlu disiapkan tempat pelayanan, IT: dilakukan oleh Pemda,
BAGAIMANA MENINGKATKAN PENERIMAAN PBB P2 ?
  1. Meningkatkan Coverage Ratio melalui kegiatanPendataan wilayah yang belum dikenakan PBB P2 (Ekstensifikasi),
  2. Meningkatkan Asessment Ratio dengan jalan menyesuaikan NJOP mendekati harga pasar (tanah dan bangunan),
  3. Meningkatkan Collection Ratio  dengan jalan meningkatkan kegiatan penagihan aktif (law enforcement),  mempermudah pembayaran (on line), mengurangi kebocoran dg pengawasan,
  4. Melakukan penyesuaian kebijakan lain melalui Perda:
  • Tarif  efktif dinaiikan/dibuat progressif/dibuat gradasi lapisan,
  • NJOPTKP diturunkan.

Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB

Seiring berlakunya UU PDRD yang baru, maka PBB khusus sektor perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tentunya pemerintah daerah harus segera bersiap diri agar dapat menerapkannya dengan baik. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menjabarkan berbagai peluang dan tantangan yang harus dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, sebagai bahan rujukan sebelum tenggang waktu persiapan berakhir.
 
Medio September 2009 lalu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang secara resmi berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU PDRD yang lama, yaitu UU Nomor 18 Tahun 1997.
Penggantian UU ini dipicu karena adanya sejumlah perubahan yang fundamental dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Salah satunya adalah dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) khusus sektor perdesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah. Sebagai informasi, selama ini PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat.
Lebih lanjut, dalam UU PDRD yang baru PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) termaktub dalam Bab II Bagian Keenam Belas. Menyusul, BPHTB diatur dalam Bagian Ketujuh Belas pada bab yang sama.
Latar Belakang Pengalihan
Seperti disinggung di awal, UU Nomor 12 Tahun 1994 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, telah menetapkan bahwa PBB dan BPHTB tergolong sebagai pajak pusat.
Walaupun berstatus sebagai pajak pusat, penerimaan pajak tersebut secara mayoritas diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini sebenarnya lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota (pemerintah daerah). Tentu karena pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi untuk memungut pajak tersebut. Pemerintah daerah tinggal menerima dana bagi hasilnya dari pemerintah pusat. Singkat kata, sebagian besar dari mereka tidak ingin menerima pengalihan ini.
Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah mengapa pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah? Menurut penulis, jawabannya adalah karena adanya beberapa kenyataan, antara lain:

a.     Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah.

b.     Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN.

c.     Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang merupakan peleburan dari KPP, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika diamati, keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan dan tidak diimbangi dengan jumlah penerimaannya, memang bisa dirasakan mengganggu konsentrasi Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan KPP Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan PBB menjadi lebih efisien.

Memang, bukanlah hal mudah dalam memprediksi/menargetkan berapa pajak yang akan diperoleh sebuah kabupaten/kota, mengingat sifat Objek BPHTB yang spesifik, tergantung pada volume transaksi perolehan hak atas tanah yang sangat sulit untuk diprediksi setiap tahunnya.
Penerimaan daerah kabupaten/kota bisa mengalami peningkatan/penurunan akibat adanya  pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Peningkatan ini terjadi karena:

a.     Penerimaan PBB P2 dan BPHTB akan sepenuhnya menjadi bagian kabupaten/kota;

b.     Dihapuskannya pengenaan BPHTB untuk waris, hibah wasiat dan hak pengelolaan (UU PDRD) akan menghapus PP Nomor 111 Tahun 2000 dan PP Nomor 112 Tahun 2000).

Sebaliknya, penurunan penerimaan dapat saja terjadi akibat:

a.     NJOPTKP sekurang-kurangnya Rp10 juta

b.     NPOPTKP sekurang-kurangnya Rp60 juta, sedangkan untuk hibah wasiat satu derajat dan waris diberikan NPOPTKP sekurang-kurangnya Rp300 juta.

NJOP Tak Ada, BPHTB Tak Bisa Dipungut
Jika menyitir bunyi Pasal 185 UU PDRD, maka sejak 1 Januari 2010 pemerintah kabupaten/kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Namun, pemerintah pusat tentu menyadari bahwa tidak semua daerah siap dengan perubahan ini. Diperlukan persiapan-persiapan yang matang sampai pemerintah daerah benar-benar siap untuk menerapkan kebijakan pengalihan ini.
Terkait masa persiapan ini, pemerintah mendelegasikan Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Selain itu, pemerintah juga memberikan tenggang waktu kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan segala kelengkapan guna mendukung kebijakan baru tersebut.
Seperti yang diatur dalam Pasal 182 UU PDRD, pemerintah memberikan tenggang waktu sampai dengan 31 Desember 2013. Artinya, suka atau tidak suka, pemerintah daerah harus menerima pengalihan PBB P2 beserta seluruh aspeknya, mulai dari pengiriman Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sampai dengan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), pemenuhan hak Wajib Pajak sampai dengan sengketa dengan Wajib Pajak di Pengadilan Pajak, Jakarta.
Sedangkan, BPHTB dialihkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU PDRD, yakni pada 31 Desember 2010. Yang patut disayangkan, sampai dengan saat tulisan ini diturunkan, peraturan pelaksana yang akan mengatur lebih lanjut tentang tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sesuai dengan Pasal 182 tersebut, belum juga diterbitkan. Padahal, bagi pemerintah kabupaten/kota yang sudah matang tingkat persiapannya, mungkin saja ingin secepatnya menerima pengalihan pajak tersebut.
Peraturan tersebut tentu akan menjadi trigger  (pemicu) bagi pemerintah kabupaten/kota untuk segera menerima pengalihan pajak tersebut. Sedang, bagi pihak (pemerintah daerah, red) yang belum siap, ada baiknya segera mempersiapkan perangkatnya dan bila perlu dapat melakukan kegiatan pengamatan (studi banding) terhadap kabupaten/kota yang telah mengambil alih terlebih dulu.
Sementara itu, bagi kabupaten/kota yang mungkin merasa potensi PBB P2 kurang memadai sehingga memutuskan untuk tidak memungut, maka PBB P2 masih akan menjadi pajak pusat sampai dengan 31 Desember 2013. Namun demikian, keputusan ini akan membawa konsekuensi serius pada BPHTB.
Mengapa? Sebab, sesudah tanggal tersebut, maka UU PBB yang mengatur tentang PBB P2 tidak berlaku lagi, sehingga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB P2 juga tidak ada lagi. Jika NJOP tidak ada, maka harga transaksi dan nilai pasar tidak dapat dibandingkan dengan NJOP. Jika tidak bisa dibandingkan, maka BPHTB tidak dapat dipungut!
Selain itu, kebijakan NJOPTKP minimal Rp10 juta dan NPOPTKP minimal Rp60 juta dan Rp300 juta akan menyebabkan hilangnya potensi pajak. Apabila pemungutan PBB P2 dirasakan tidak menguntungkan,  maka UU PDRD yang baru memperbolehkan Pemda untuk tidak melakukan pemungutan PBB P2 (sudah dijelaskan di atas). Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk tidak memungut PBB, ada baiknya jika terlebih dulu dibuat simulasi penerimaan PBB P2 dan BPHTB dengan menggunakan data yang selama ini sudah ada pada KPP Pratama.
Hal yang Perlu diketahui Pemerintah Daerah?
Dalam rangka menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB, maka ada banyak hal yang harus diketahui dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal-hal yang harus diketahui dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang secara garis besar, dapat penulis kelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:
a.  Pemenuhan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Mengatur pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan pemerintah. Untuk itu pemerintah harus berupaya untuk menyusun agar prosedur pemungutan pajak menjadi efektif.
Salah satu rekomendasi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1997 agar Indonesia keluar dari krisis ekonomi adalah dibentuknya kantor pajak baru, yaitu LTO (large tax payer office/Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar). Dari sinilah berkembang ke arah yang lebih luas lagi, yaitu reformasi birokrasi di tubuh Departemen Keuangan (Depkeu). Salah satu hasil nyata dari reformasi birokrasi tersebut khususnya di kubu Ditjen Pajak adalah terbentuknya KPP Pratama.
Selain berhasil menerapkan administrasi modern, KPP Pratama juga telah mengubah paradigma lama menjadi paradigma baru. Petugas pajak takut melanggar peraturan sehingga korupsi dapat diminimalkan dan pelayanan kepada Wajib Pajak semakin baik. Hal ini berarti, pelayanan kepada masyarakat menjadi prioritas utama. Sebagai contoh, permohonan tentang penerbitan SPPT baru kini dijanjikan selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja dengan catatan seluruh berkas adalah lengkap dengan syarat tidak membutuhkan inspeksi ke alamat objek pajak.
Dengan adanya pengalihan PBB P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah, sama saja artinya dengan memindahkan birokrasi. Pertanyaannya,mampukah kabupaten/kota memberikan pelayanan prima pada Wajib Pajak sebagaimana layanan yang telah diberikan oleh KPP Pratama?
Menjawab hal tersebut, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah. Semestinya, pemerintah daerah minimal bisa mengimbangi performa dari KPP Pratama. Artinya, pemerintah daerah harus mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat (Wajib Pajak PBB dan BPHTB) sebagaimana yang telah diberikan oleh KPP Pratama.
Satu hal lagi, sistem administrasi modern perpajakan yang diterapkan oleh Ditjen Pajak, telah memaksa Ditjen Pajak untuk menciptakan aturan/SOP (standard operating procedure) baru ataupun menyempurnakan SOP yang telah ada. Semoga pemerintah kabupaten/kota juga mampu menciptakan SOP dengan kualitas minimal sama dengan yang sebelumnya.
b. Administrasi PBB P2 dan Pengelolaan BPHTB
Sebelum menerima kebijakan pengalihan ini, sebaiknya pemerintah kabupaten/kota melakukan sosialisasi terlebih dulu. Tidak hanya mengenai alamat kantor yang baru, peluang dikenakannya BPHTB lebih tinggi untuk waris, hibah wasiat dan lain-lain, tapi juga perlu diimbangi sosialisasi tentang Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Di mana dalam ketentuannya ditetapkan minimal Rp60 juta per Wajib Pajak dan Rp300 juta untuk hibah wasiat satu derajat dan waris. Lebih penting lagi, perlu ditekankan bahwa semua pelayanan yang diberikan tidak dipungut biaya alias gratis.
Dalam proses administrasi dan pengelolaan PBB P2 ini tentu diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Salah satunya dibutuhkan SDM untuk penilai (appraiser/valuer) dan operator console. Profesi Penilai dibutuhkan untuk menghitung NJOP khususnya objek khusus dan objek non standar contohnya, pelabuhan udara, pelabuhan laut, jalan tol, kampus, rumah sakit, hotel, restoran, lapangan golf, gedung bioskop, apartemen, pusat perbelanjaan/mall, SPBU, menara seluler, toko, ruko, pabrik, bendungan PLTA, pembangkit listrik tenaga panas bumi/PLTP, tambak ikan, areal pembudidayaan ikan/kerang mutiara, areal penangkapan ikan di laut, perumahan, pertanian dan lain-lain.
Penilaian properti yang dilakukan oleh tenaga penilai tidak semata ditujukan untuk menentukan NJOP, tetapi dapat juga untuk tujuan yang lain, misalnya menilai aset daerah, pembebasan tanah yang adil, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, perbankan, asuransi, tukar guling, pembebasan lahan dan lain-lain.
Selain melakukan kegiatan penilaian, seorang penilai harus mampu melakukan pemetaan, dari tingkat konvensional sampai dengan pembuatan peta digital. Namun sayang sekali, sampai hari ini, satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal untuk mencetak penilai adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Gadjah Mada pada Program Pasca Sarjana (S-2).
Lebih lanjut, proses pendistribusian SPPT kepada Wajib Pajak sering melibatkan peran serta aparat mulai dari RT, RW, kepala desa dan camat. Oleh karena itu, jerih payah mereka hendaknya dihargai sewajarnya. Diharapkan jangan berlebihan dalam memberikan punishment terhadap mereka. Jerih payah para pejabat seperti notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat lelang, badan pertanahan dan pejabat di pengadilan juga semestinya jangan dilupakan. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24 UU BPHTB ataupun Pasal 91 UU PDRD.
Tidak hanya SDM, perangkat lain yang juga diperlukan dalam pengalihan PBB P2 dan BPHTB adalah Kantor Pelayanan PBB (KP PBB). Bila dulu, nama KP PBB adalah sesuai dengan nama kabupaten ataupun kota, misalnya KP PBB Kota X. Kemudian, jika terpaksa dilakukan pemekaran kantor, maka dibentuklah KP PBB Kota X Satu, KP PBB Kota X Dua, KP PBB Kota X Tiga dan seterusnya.
Sekarang, nama KPP Pratama tidak lagi berdasarkan nama kabupaten ataupun kota, tetapi cenderung kepada nama kecamatan, bahkan nama kelurahan. Artinya, dalam pendirian/pembentukan kantor-kantor baru, maka pemerintah kabupaten/kota pun sebaiknya mengadopsi KPP Pratama, terutama untuk kota besar semacam Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Palembang dan kota lainnya. Hal ini ditujukan untuk memperluas cakupan pelayanan dan cakupan penggalian potensi, tentunya dengan mempertimbangkan biaya yang harus disediakan.
c.   Pemahaman Metode Penilaian Objek PBB
Dalam menilai Objek PBB, digunakan 2 (dua) metode penilaian, antara lain:
a.    Penilaian Individual
Adalah suatu cara penilaian terhadap Objek PBB dengan cara memperhitungkan semua karakteristik dari setiap Objek PBB. Kegiatan penilaian individu diterapkan untuk objek pajak non standar, objek pajak khusus maupun objek pajak yang bernilai tinggi (NJOP-nya lebih dari Rp1 miliar).
b.   Penilaian Massal
Dibutuhkan cara yang cepat untuk menilai Objek PBB yang berjumlah ribuan bahkan jutaan. Caranya adalah dengan menggunakan penilaian massal, yaitu suatu metode penilaian yang sistematis untuk sejumlah objek pajak yang dilakukan pada saat tertentu secara bersamaan dengan menggunakan suatu prosedur standar, yang biasanya disebut dengan Computer Assisted Valuation (CAV).
d. Pemahaman tentang Karakter PBB P2 dan BPHTB
Sebagai langkah awal untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB, sudah seharusnya para pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mengetahui perbedaan antara bea dan pajak, serta perbedaan antara bumi dan hak atas tanah. Tidak sedikit pula masyarakat yang belum mengerti mengapa dinamakan PBB bukannya Bea Bumi dan Bangunan (BBB) ataupun Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB). Juga, mengapa dinamakan BPHTB, bukannya Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPHTB) ataupun Bea Perolehan Bumi dan Bangunan (BPBB).
Walaupun UU BPHTB sudah berumur hampir 12 tahun, tidak sedikit petugas pajak yang salah memahami dan menerapkannya. Misalnya tidak memahami apa yang menjadi objek, tidak memahami NPOPTKP, tidak memahami filosofi waris sehingga dikenakan BPHTB yang memberatkan Wajib Pajak, tidak mengetahui hakikat Surat Tagihan BPHTB (STB), Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) dan Surat Keterangan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT). Akibatnya sering terjadi salah penerapan undang-undang.
Ada juga isi dari UU PDRD yang harusnya dijelaskan secara panjang lebar, tetapi dijelaskan hanya dengan dua kata yaitu cukup jelas. Oleh karena itu, untuk memahami secara benar UU PDRD khususnya bagian Ketujuh Belas, maka harus dilakukan penafsiran secara historis (merujuk kembali kepada UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000).
Satu lagi, pada Pasal 2 UU BPHTB (ataupun Pasal 85 ayat (2) UU PDRD) penulis menyebutnya sebagai objek eksplisit. Objek ini sangatlah jelas. Sebaliknya, objek implisit (Pasal 85 ayat (4) huruf d UU PDRD) masih remang-remang. Objek implisit akan menjadi terang benderang manakala peraturan yang menjelaskannya ada dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Tetapi sayang, sampai hari ini pun peraturan penjelas tersebut tidak pernah ada. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menjelaskannya, mengingat BPHTB sering menyerempet kepada ranah BPN.
Peraturan yang kurang jelas, akan menimbulkan salah persepsi yang dapat memicu munculnya sengketa. Contohnya PBB sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan (PBB P3) misalnya perkebunan dengan luas sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar dalam hal tertentu bisa dituntut sebagai PBB P2. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang sama antara Ditjen Pajak dengan pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan objek apa saja yang tergolong PBB P2 atau PBB P3.
Contoh lainnya adalah kuburan komersil, sekolah swasta komersil atas nama yayasan, rumah sakit komersil atas nama Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM). Dikenakan atau tidaknya objek tersebut, tampaknya pemerintah kabupaten/kota perlu memahami peraturan dengan baik dan benar.
Pemahaman peraturan PBB P2 dan BPHTB lainnya adalah seputar pemahaman aturan sengketa pajak. Pada dasarnya, dalam keberatan pajak terkandung sebuah sengketa, tepatnya adalah sengketa antara Wajib Pajak dengan Dirjen Pajak. Dengan demikian, pengalihan PBB P2 dan BPHTB berakibat juga pada pemindahan sengketa pajak ke kabupaten/kota. Tidak tertutup kemungkinan, sengketa tersebut akan terbawa ke Pengadilan Pajak. Pengalihan PBB P2 dan BPHTB harus tetap memerhatikan proses keberatan yang lama prosesnya sampai 12 bulan, pembetulan yang jangka waktunya sampai dengan daluarsa, dan lain-lain.
Sementara itu, pengalihan PBB P2 dan BPHTB tentunya dialihkan juga tentang data Objek dan Subjek PBB P2 dan BPHTB. Hal ini tentu akan memudahkan dalam proses penindakan terhadap daluarsa penetapan, penagihan dan pidana. Contoh yang paling sederhana adalah jangan sampai terjadi pembayaran ganda, misalnya Wajib Pajak yang sudah membayar PBB, akan dipaksa membayar lagi manakala ia tidak bisa menunjukkan bukti pembayarannya (Surat Tanda Terima Setoran).
Lebih lanjut, pengalihan PBB P2 dan BPHTB ini seharusnya mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi masuknya arus modal ke kabupaten/kota. Contohnya, keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) untuk hak atas tanah akan berakibat pada makin tingginya BPHTB yang harus dibayar oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Mengapa? Karena NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak) pemberian hak baru adalah nilai pasar, jika tidak diketahui maka NPOP adalah NJOP PBB. Artinya semakin lama, maka NJOP makin tinggi. Solusinya adalah perlu koordinasi yang lebih baik lagi dengan BPN sebagai pihak yang menerbitkan SKPH.
Pemahaman seputar produk/keluaran PBB juga sepatutnya menjadi perhatian. Pasalnya, produk/keluaran PBB, misalnya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sering dianggap masyarakat sebagai bukti pemilikan hak atas tanah. Padahal SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB P2 yang terutang kepada Wajib Pajak. Anggapan ini semakin dipertegas oleh BPN yang masih mensyaratkan SPPT sebagai salah satu bagian dalam proses pendaftaran tanah. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, ada baiknya jika SPPT nihil tetap diterbitkan.
Selain itu, sebagian besar masyarakat juga enggan untuk mengetahui BPHTB, sehingga segala macam urusan BPHTB diserahkan kepada para pejabat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU BPHTB (Pasal 91 UU Nomor 28 Tahun 2009). Lebih jauh lagi adalah bahwa masyarakat tidak tahu bahwa sebetulnya ada kondisi-kondisi tertentu (misalnya pengurangan) yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan Menteri Keuangan, yang dapat menyebabkan berkurangnya pembayaran BPHTB dan ini adalah legal/sah.
e. Hal Krusial Lainnya
Dewasa ini, Ditjen Pajak sudah merintis jalan untuk mempublikasikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi melalui internet. Harapan dari publikasi NJOP bumi adalah agar tercipta transparansi pembentukan NJOP serta meningkatkan peranan masyarakat dalam pembentukan NJOP.
Dalam hal ini, Ditjen Pajak memerlukan kerja sama dengan berbagai instansi baik pemerintah ataupun swasta. Misalnya, agar dapat tercipta NJOP yang mendekati nilai pasar, maka perlu kerja sama dengan pihak broker properti. Mengingat sampai hari ini tidak ada kewajiban bagi broker properti untuk melaporkan data listing dan data transaksi usahanya. Berbeda dengan notaris/PPAT yang selalu memberikan laporan setiap bulannya.
Contoh lain adalah koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang wilayahnya berbatasan satu dengan yang lain sehingga NJOP bumi di daerah yang saling berbatasan adalah sama, tentunya dengan syarat mempunyai sifat fisik, fasilitas, aksesibilitas yang sama/serupa. SPPT PBB atas objek yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan seharusnya diterbitkan, dan tidak perlu dikenakan PBB. Hal ini semata-mata ditujukan untuk mengetahui nilai asetnya sebagai bagian awal dari Manajemen Aset Daerah yang lebih luas lagi.
Memang, peraturan membolehkan kegiatan pendataan Objek dan Subjek PBB dilakukan oleh pihak ketiga (swasta). Tetapi sayang, mutu/kualitas produk/output yang dihasilkan pihak ketiga tidak lebih baik dari produk/output yang dihasilkan oleh fungsional penilai PBB. Oleh karena itu, prinsip hati-hati dan waspada harus selalu dikedepankan agar kesalahan yang selama ini terjadi tidak akan terulang kembali. Tentu pemerintah kabupaten/kota pasti mampu memaksa pihak broker properti untuk melaporkan data-data tersebut. Hal ini pun dapat diberlakukan kepada pengembang properti.
Bahasan selanjutnya adalah selama ini NJOP selalu digunakan untuk kepentingan PBB. Namun, bukan tidak mungkin jika NJOP tidak hanya digunakan untuk kepentingan PBB, tetapi juga dapat digunakan untuk segala tujuan. Alangkah baiknya jika NJOP bisa menjadi single value for multi purpose (SVMP). Contoh sederhana adalah jika untuk kepentingan PBB, masyarakat menginginkan NJOP yang rendah, tetapi manakala ditujukan untuk tujuan ganti rugi, maka masyarakat tidak mau menggunakan NJOP karena dianggap terlalu rendah nilainya.
Penutup
Bagaimanapun juga, langkah terbaik yang seharusnya ditempuh para pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan baru ini adalah segera membenahi dan melengkapi segala kekurangan yang ada. Seyogyanya, segala hambatan dianggap sebagai tantangan dan segala kekurangan menjadi peluang ¢

Minggu, 18 November 2012

PhotoShop For Android

Untuk postingan kali ini saya akan coba share download aplikasi Android request pengunjung blog DISPENDA, dengan aplikasi yang dipinta adalah Adobe® Photoshop® Touch. Bagi anda yang hobi edit foto di PC pastinya sudah tidak asing software editing foto terbaik sejagat raya, Adobe Photoshop. Nah dengan semakin menggeliatnya pengguna Android, sang pengembang Adobe System menciptakan software Adobe Photoshop tersebut agar bisa masuk keplatform Android khususnya device tablet, aplikasi Android edit foto tersebut bernama Adobe® Photoshop® Touch.
Screenshot
 


Dalam penggunaannya Adobe Photoshop Touch platform tablet tidak jauh beda ketika anda berkreasi dengan PC, mulai dari permainan layer, adjusment warna, seleksi, dan fitur mempercantik foto lainnya. Khusus untuk seleksi di Adobe Photoshop Touch kita akan menemukan Scribble Selection tool dengan tool ini akan lebih memudahkan anda dalam menseleksi dan mengestrak gambar, kemudian tool ajaib lainnya yang bisa kita jumpai pada Adobe Photoshop Touch seperti Refine Edge hanya dengan sedikit sentuhan saja akan lebih memilih area gambar yang sulit seperti rambut dan mata. Selain itu ketika anda ingin mengkombinasikan dengan gambar lain, anda bisa mencari gambar pendukung tersebut melalui Google Image Search. Terakhir aplikasi Android edit foto ini kompatibel dengan Adobe Photoshop CS5 dan yang lebih tinggi sedangkan untuk resolusi, Adobe Photoshop Touch membatasinya hingga 2048 x 2048 pixels.